Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 01 Desember 2014

HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM


 HAK ASASI MANUSIA DALAM ISLAM
 

H
ak asasi manusia, kita pastilah sering mendengar istilah HAM atau hak asasi manusia. Akan tetapi apakah semua orang tahu dan paham tentang apa itu hak asasi manusia ?. Sebelum membahas hak asasi manusia dalam Islam, mari kita ketahui dan pahami tentang :
Apa itu hak asasi manusia? 
Sejak kapan Hak Asasi Manusia ada ?
Kemudian Bagaimana Hak Asasi Manusia dalam Agama Islam ?

Pengertian Hak Asasi Manusia (Human Rights)   
Secara universal HAM adalah hak dasar yang dimiliki oleh seseorang sejak lahir sampai mati sebagai anugerah dari tuhan YME. Semua orang memiliki hak untuk menjalankan kehidupan dan apa yang dikendakinya selama tidak melanggar norma dan tata nilai dalam masyarakat. Hak asasi ini sangat wajib untuk dihormati, dijunjung tinggi serta dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah. Setiap orang sebagai harkat dan martabat manusia yang sama antara satu orang dengan lainnya yang benar-benar wajib untuk dilindungi dan tidak ada pembeda hak antara orang satu dengan yang lainnya. [1]
HAM adalah hak fundamental yang tak dapat dicabut yang mana karena ia adalah seorang manusia. John Locke, Hak Asasi Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat. John Locke menjelaskan bahwa HAM merupakan hak kodrat pada diri manusia yang merupakan anugrah atau pemberian langsung dari tuhan YME.[2]
Sementara menurut Jack Donnely, mendefinisikan hak asasi tidak jauh berbeda dengan pengertian di depan. Hak asasi adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia dan hak itu merupakan pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa.[3]
Sedangkan menurut Meriam Budiardjo menegaskan bahwa hak asasi manusia sebagai hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan di bawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam masyarakat.[4]
Secara definitif  hak merupakan unsur nominatif yang berfungsi sebagai pedoman berprilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya.[5]
Dalam Pasal 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia ( HAM ) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekatnya dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa, dan merupakan Anugerah-Nya yang wajib dihormati, di junjung tinggi dan di lindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[6]
Secara filosofis  pandangan menurut hak asasi manusia adalah, "jika wacana publik masyarakat global di masa damai dapat dikatakan memiliki bahasa moral yang umum, itu adalah hak asasi manusia." Meskipun demikian, klaim yang kuat dibuat oleh doktrin hak asasi manusia agar terus memunculkan sikap skeptis dan perdebatan tentang sifat, isi dan pembenaran hak asasi manusia sampai dijaman sekarang ini. Memang, pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan "hak" itu sendiri kontroversial dan menjadi perdebatan filosofis terus.[7]



Sejarah Hak Asasi Manusia
            Mengingat begitu pentingnya proses internalisasi pemahaman Hak Asasi Manusia bagi setiap orang yang hidup bersama dengan orang lainnya, maka suatu pendekatan historis mulai dari dikenalnya Hak Asasi Manusia sampai dengan perkembangan saat ini perlu diketahui oleh setiap orang untuk lebih menegaskan keberadaan hak asasi dirinya dengan hak asasi orang lain.
1.    Sejarah Internasional Hak Asasi Manusia (HAM)
a.      Piagam Madinah (622 M)
Dalam sejarah konstitusi Islam terdapat dua deklarasi yang memuat hak-hak asasi manusia yang dikenal piagam madinah dan deklarasi kairo. Piagam Madinah atau Mitsaqul Madinah yang dideklarasikan oleh Rasullullah SAW pada tahun 622 M. Konsep dasar  yang tertuang dalam piagam yang lahir di masa Nabi Muhammad SAW ini adalah adanya pernyataaan atau kesepakatan masyarakat Madinah untuk melindungi dan menjamin hak-hak sesama warga masyarakat tanpa melihat latar belakang suku dan agama.[8]
b.      Magna Charta (1679)
Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan dalam bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret.[9]
c.       Habeas Corpus Act (1679)
Dokumen ini memuat pernyataan bahwa: “sebuah undang-undang harus melindungi kebebasan warga negara. Dan untuk mencegah pemenjaraan yang sewenang-wenang orang yang ditahan dalam waktu tiga hari harus dihadapkan kepada seorang hakim serta diberi tahu ats tuduhan apa ia ditahan.”[10]
d.      Bill of Rights (1689)
Selanjutnya lahir Bill of Rights” di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. Bill of rights melahirkan asas persamaan. Para pejuang HAM dahulu sudah berketatapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya resiko yang dihadapi karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), Motesquieu dengan Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.[11]
e.       Declaration of Independence (1776)
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Roesseau dan Montesqueu pada 4 juli 1776. Jadi, walaupun di Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di Amerika Serikat lebih dahulu mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu.[12]
f.       The French Declaration (1789)
Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration (Declarataion des droit de I’homnes et du Citoyen), dimana hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakah tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula presumption of innocence, artinya orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression (bebas mengelaurkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut keyakinan/agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan terhadap hak milik) dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnyademokrasi maupun negara hukum yang asas-asasnya sudah dicanangkan sebelumnya.[13]
g.      The Four Freedom (1941)
Empat kebebasan yang diajukan Presiden AS Franklin D. Rosevelt, yaitu:
1)      Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech and expression)
2)      Kebebasan beragama (freedom of religion)
3)      Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear)
4)      Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want)[14]
h.      Universal Declaration of Human Right (1948)
Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman yang dilakukan dalam Perang Dunia II.[15] Dijelaskan dalam Universal Declaration of Human Right yang memuat 30 pasal dan secara garis besar HAM dikelompokan menjadi 3 bagian, yakni : (1) hak-hak politik dan hak yuridis, (2) hak-hak atas martabat dan integritas manusia, (3) hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya.[16]
i.        Cairo Declaration (1990)
Dalam pandangan Negara-negara Islam HAM Barat tidak sesuai dengan pandangan agama Islam yang telah ditetapkan Allah SWT. Berkaitan dengan itu Negara-negara Islam yang tergabung dalam Organization of the Islamic Conference (OIC/OKI) pada tanggal 5 agustus 1990 mmengeluarkan deklarasi tentang kemanusiaan sesuai syariat Islam di Kairo. Konsep hak-hak asasi manusia hasil rumusan Negara-negara OKI ini selanjutnya dikenal dengan sebutan deklarsi Kairo.[17]

2.    Sejarah Nasional Hak Asasi Manusia (HAM)
Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada sebelum Indonesia menhalamimasa-masa penjajahan. Hak asasi Manusia telah ada di Nusantara sejak zaman kerajaan-kerajaan, Sebagai contoh:
a.       Dalam masa kebesaran kerajaan Sriwijaya, aspek yang menonjol dan mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia adalah berupa terpeliharanya dan terbinanya kehidupan spiritual, ekonomi dan politik, seperti adanya perlindungan dari perampokan atau perompak bagi para nelayan.
b.      Sedangkan dalam masa kebesaran kerajaan Majapahit tamapak ada kerukunan hidup antara pemeluk agama yang berlainan. Demikian pula pada kehidupan rakyat yang dipandang telah mencapai taraf kecukupan. Hal demikian mencerminkan bahwa hak-hak asasi Indonesia telah terpelihara dengan baik.[18]
c.       HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterpkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.[19]

Wacana HAM di Indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar, perkembangan pemikiran HAM di Indonesia dapat dibagi kedalam dua periode: sebelumkemerdekaan (1908-1945) dan sesudah kemerdekaan. Berikut ini adalah perkembangan HAM (Periodesasi HAM) di Indonesia:
1)      Periode sebelum kemerdekaan (1908-1945)
Sebelum Indonesia merdeka, banyak organisasi pergerakan nasional berpemikiran HAM, beberapa organisasi telah memperlihatkan adanya kesdaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang dilakukan kepada colonial maupun dalam tulisan dalam surat kabar.Beberapa organisasi yang bergerak dalam konteks pemikiran HAM sebelum kemerdekaan adalah: Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia, Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Indische partij, Partai Nasional Indonesia, Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia.[20]
2)      Periode Setelah Kemerdekaan/Orde Lama (1945-1966)
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebbasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama diparlemen.Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hokum dasar Negara (konstitusi) yaitu,UUD 45.Komitmen terhadap HAM pada periode awal sebagaimana ditunjukan dalam maklumat pemerintah tanggal 1 November.langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik.Sebagaimana tertera dalam maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945.
3)      Periode Orde Baru (1966-1998)
Pada periode ini proses penegakan HAM mengalamai kemunduran ,karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi, dan ditegakkan.Sikap defensive pemerintah tercermin dengan peran media yang tidak bebas, kebebasan bersuara atau berpendapat di depan umum dibatasi bahkan terkadang dilarang.Banyak terjadi kasus pelanggaran HAM yang belum terpecahkan samapi sekarang yaitu Tragedi Semanggi, Tanjung Priok, Peristiwa Tri Sakti.
Namun pada periode ini ada sedikit kemajuan dalam proses penegakan HAM salah satunya dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan KEPRES No.50 tahun 1993  tanggal  7 Juni 1993.
4)      Periode Reformasi (1998-Sekarang)
Pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia.Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM.Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Banyak pengusutan dan penyeledikan kasus pelanggaran pada masa reformasi ini.[21]

Hak Asasi Manusia dalam Islam
Islam adalah agama Universal yang mengajarkan keadilan bagi semua manusia tanpa pandang bulu. Sebagai agama kemanusiaan, Islam meletakkan manusia pada posisi yang sangat mulia. Menurut kalangan ulama Islam, terdapat dua konsep tentang hak dalam Islam: hak manusia (hak al insan) dan hak Allah. Terdapat tiga bentuk HAM dalam Islam. Pertama, hak dasar (daruri), sesuatu ianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar bukan hanya membuat manusia sengsara, tetapi juga hilang eksistensinya \, bahkan hilang harkat kemanusiaannya. Kedua hak sekunder, yakni hak-hak yang apabila tidak ipenuhi akan berkibat pada hilangnya hak-hak dasr sebagai manusaia. Ketiga hak tersier, yakni hak yang tingkatnya lebih rendah dari hak primer dan sekunder. Konsep Islam tentang HAM dapat dijumpai dalam sumber utam Islam, Al-Qur’an dan Hadits.[22]
Nabi saw telah menegaskan hak-hak ini dalam suatu pertemuan besar internasional, yaitu pada haji wada’. Dari Abu Umamah bin Tsa’labah, nabi saw bersabda: "Barangsiapa merampas hak seorang muslim, maka dia telah berhak masuk neraka dan haram masuk surga." Seorang lelaki bertanya: "Walaupun itu sesuatu yang kecil, wahay rasulullah ?" Beliau menjawab: "Walaupun hanya sebatang kayu arak." (HR. Muslim).
Islam berbeda dengan sistem lain dalam hal bahwa hak-hak manusia sebagai hamba Allah tidak boleh diserahkan dan bergantung kepada penguasa dan undang-undangnya. Tetapi semua harus mengacu pada hukum Allah. Sampai kepada soal shadaqah tetap dipandang sebagaimana hal-hal besar lain. Misalnya Allah melarang bershadaqah (berbuat baik) dengan hal-hal yang buruk. "Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya..." (QS. 2: 267).

Nash Qur’an dan Sunnah tentang HAM. Meskipun dalam Islam, hak-hak asasi manusia tidak secara khusus memiliki piagam, akan tetapi Al-Qur’an dan As-Sunnah memusatkan perhatian pada hak-hak yang diabaikan pada bangsa lain. Nash-nash ini sangat banyak, antara lain:
1.        Dalam al-Qur’an terdapat sekitar empat puluh ayat yang berbicara mengenai paksaan dan kebencian. Lebih dari sepuluh ayat bicara larangan memaksa, untuk menjamin kebebasan berfikir, berkeyakinan dan mengutarakan aspirasi. Misalnya:"Kebenaran itu datangnya dari Rabb-mu, barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir." (QS. 18: 29)
2.        Al-Qur’an telah mengetengahkan sikap menentang kedzaliman dan orang-orang yang berbuat dzalim dalam sekitar tiga ratus dua puluh ayat, dan memerintahkan berbuat adil dalam lima puluh empat ayat yang diungkapkan dengan kata-kata: ‘adl, qisth dan qishas.
3.        Al-Qur’an mengajukan sekitar delapan puluh ayat tentang hidup, pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana hidup. Misalnya: "Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya." (QS. 5: 32). Juga Qur’an bicara kehormatan dalam sekitar dua puluh ayat.
4.        Al-Qur’an menjelaskan sekitar seratus lima puluh ayat tentang ciptaan dan makhluk-makhluk, serta tentang persamaan dalam penciptaan. Misalnya: "... Orang yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertawa diantara kamu." (QS. 49: 13)
5.        Pada haji wada’ Rasulullah menegaskan secara gamblang tentang hak-hak asasi manusia, pada lingkup muslim dan non-muslim, pemimpin dan rakyat, laki-laki dan wanita. Pada khutbah itu nabi saw juga menolak teori Yahudi mengenai nilai dasar keturunan.
Manusia di mata Islam semua sama, walau berbeda keturunan, kekayaan, jabatan atau jenis kelamin. Ketaqwaan-lah yang membedakan mereka. Rakyat dan penguasa juga memiliki persamaan dalam Islam. Yang demikian ini hingga sekarang belum dicapai oleh sistem demokrasi modern. Nabi saw sebagai kepala negara juga adalah manusia biasa, berlaku terhadapnya apa yang berlaku bagi rakyat. Maka Allah memerintahkan beliau untuk menyatakan: "Katakanlah bahwa aku hanyalah manusia biasa, hanya saja aku diberi wahyu, bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa." (QS. 18: 110).

Hak asasi manusia dalam Islam tertuang secara jelas untuk kepentingan manusia, lewat syari’ah Islam yang diturunkan melalui wahyu. Menurut syari’ah, manusia adalah makhluk bebas yang mempunyai tugas dan tanggung jawab, dan karenanya ia juga mempunyai hak dan kebebasan. Dasarnya adalah keadilan yang ditegakkan atas dasar persamaan atau egaliter, tanpa pandang bulu. Artinya, tugas yang diemban tidak akan terwujud tanpa adanya kebebasan, sementara kebebasan secara eksistensial tidak terwujud tanpa adanya tanggung jawab itu sendiri. Sistem HAM Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan penghormatan terhadap sesama manusia. Persamaan, artinya Islam memandang semua manusia sama dan mempunyai kedudukan yang sama, satu-satunya keunggulan yang dinikmati seorang manusia atas manusia lainya hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Hujarat ayat 13, yang artinya sebagai berikut :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kaum adalah yang paling takwa.[23]

Dalam sejarah konstitusi Islam terdapat dua deklarasi yang memuat hak-hak asasi manusia yang dikenal piagam madinah dan deklarasi kairo.[24] Terdapat dua prinsip pokok HAM dalam Piagam Madinah. Pertama semua pemeluk Islam adalah satu umat walua mereka berbeda suku dan bangsa. Kedua hubungan antara komunitas muslim dengan nonmuslim didasarkan pada prinsip-prinsip:
1.    berinteraksi secra baik dengan tetangga;
2.    saling membantu dalam menhhadapi musuh bersama;
3.    membela mereka yang teraniaya;
4.    saling menasihati;
5.    menghormati kebebasan beragama.
Pandangan kemanusiaan Piagam Madinah menjadi semangat deklarasi HAM Islam di Kairo. Lahirnya Deklarasi Kairo mengandung ketentuan HAM sebagai berikut: [25]
1)        hak persamaan dan kebebasan
2)        hak hidup
3)        hak perlindungan diri
4)        hak kehormatan pribadi
5)        hak berkeluarga
6)        hak kesetaraan wanita dengan pria
7)        hak anak dari orang tua
8)        hak mendapatkan pendidikan
9)        hak kebebasan beragama
10)    hak kebebasan mencari suaka
11)    hak memperoleh pekerjaan
12)    hak memperoleh perlakuan sama
13)    hak kepemilikan
14)    hak tahanan dan narapidana
Pada dasarnya HAM dalam Islam terpusat pada lima hal pokok yang terangkum dalam al-dloruriyat al-khomsah atau yang disebut juga al-huquq al-insaniyah fi al-islam (hak-hak asasi manusia dalam Islam). Konsep ini mengandung lima hal pokok yang harus dijaga oleh setiap individu, yaitu hifdzu al-din (penghormatan atas kebebasan beragama), hifdzu al-mal (penghormatan atas harta benda),hifdzu al-nafs wa al-‘ird (penghormatan atas jiwa, hak hidup dan kehormatan individu) hifdzu al-‘aql(penghormatan atas kebebasan berpikir) dan hifdzu al-nasl(keharusan untuk menjaga keturunan). Kelima hal pokok inilah yang harus dijaga oleh setiap umat Islam supaya menghasilkan tatanan kehidupan yang lebih manusiawi, berdasarkan atas penghormatan individu atas individu, individu dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan negara dan komunitas agama dengan komunitas agama lainnya.[26]
Hak-hak alamiah manusia telah diberikan kepada seluruh ummat manusia sebagai makhluk yang diciptakan dari unsur yang sama dan dari sumber yang sama pula. Hak-hak tersebut diantaranya:[27]
a.    Hak Hidup
Allah menjamin kehidupan, diantaranya dengan melarang pembunuhan dan meng-qishas pembunuh (lihat QS. 5: 32, QS. 2: 179). Bahkan hak mayit pun dijaga oleh Allah. Misalnya hadist nabi: "Apabila seseorang mengkafani mayat saudaranya, hendaklah ia mengkafani dengan baik." Atau "Janganlah kamu mencaci-maki orang yang sudah mati. Sebab mereka telah melewati apa yang mereka kerjakan." (Keduanya HR. Bukhari).
b.    Hak Kebebasan Beragama dan Kebebasan Pribadi
Kebebasan pribadi adalah hak paling asasi bagi manusia, dan kebebasan paling suci adalah kebebasan beragama dan menjalankan agamanya, selama tidak mengganggu hak-hak orang lain. Firman Allah: "Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya?" (QS. 10: 99).
Untuk menjamin kebebasan kelompok, masyarakat dan antara negara, Allah memerintahkan memerangi kelompok yang berbuat aniaya terhadap kelompok lain (QS. 49: 9). Begitu pula hak beribadah kalangan non-muslim. Khalifah Abu Bakar menasehati Yazid ketika akan memimpin pasukan: "Kamu akan menemukan kaum yang mempunyai keyakinan bahwa mereka tenggelam dalam kesendirian beribadah kepada Allah di biara-biara, maka biarkanlah mereka." Khalid bin Walid melakukan kesepakatan dengan penduduk Hirah untuk tidak mengganggu tempat peribadahan (gereja dan sinagog) mereka serta tidak melarang upacara-upacaranya.
Kerukunan hidup beragama bagi golongan minoritas diatur oleh prinsip umum ayat "Tidak ada paksaan dalam beragama." (QS. 2: 256).
Sedangkan dalam masalah sipil dan kehidupan pribadi (ahwal syakhsiyah) bagi mereka diatur syari’at Islam dengan syarat mereka bersedia menerimanya sebagai undang-undang. Firman Allah: "Apabila mereka (orang Yahudi) datang kepadamu minta keputusan, berilah putusan antara mereka atau biarkanlah mereka. Jika engkau biarkan mereka, maka tidak akan mendatangkan mudharat bagimu. Jika engkau menjatuhkan putusan hukum, hendaklah engkau putuskan dengan adil. Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang adil." (QS. 5: 42). Jika mereka tidak mengikuti aturan hukum yang berlaku di negara Islam, maka mereka boleh mengikuti aturan agamanya - selama mereka berpegang pada ajaran yang asli. Firman Allah: "Dan bagaimana mereka mengangkat kamu sebagai hakim, sedangkan ada pada mereka Taurat yang di dalamnya ada hukum Allah? Kemudian mereka tidak mengindahkan keputusanmu. Sesungguhnya mereka bukan orang-orang yang beriman ." (QS.5: 7).
c.    Hak Bekerja
Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak tetapi juga kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin. Nabi saw bersabda: "Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya sendiri." (HR. Bukhari). Dan Islam juga menjamin hak pekerja, seperti terlihat dalam hadist: "Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah).
d.   Hak Pemilikan
Islam menjamin hak pemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan cara apapun untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya, sebagaimana firman Allah: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada hakim agar kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahuinya." (QS. 2: 188). Oleh karena itulah Islam melarang riba dan setiap upaya yang merugikan hajat manusia. Islam juga melarang penipuan dalam perniagaan. Sabda nabi saw: "Jual beli itu dengan pilihan selama antara penjual dan pembeli belum berpisah. Jika keduanya jujur dalam jual-beli, maka mereka diberkahi. Tetapi jika berdusta dan menipu berkah jual-bei mereka dihapus." (HR. Al-Khamsah)
Islam juga melarang pencabutan hak milik yang didapatkan dari usaha yang halal, kecuali untuk kemashlahatan umum dan mewajibkan pembayaran ganti yang setimpal bagi pemiliknya. Sabda nabi saw: "Barangsiapa mengambil hak tanah orang lain secara tidak sah, maka dia dibenamkan ke dalam bumi lapis tujuh pada hari kiamat." Pelanggaran terhadap hak umum lebih besar dan sanksinya akan lebih berat, karena itu berarti pelanggaran tehadap masyarakat secara keseluruhan.
e.    Hak Berkeluarga
Allah menjadikan perkawinan sebagai sarana mendapatkan ketentraman. Bahkan Allah memerintahkan para wali mengawinkan orang-orang yang bujangan di bawah perwaliannya (QS. 24: 32). Aallah menentukan hak dan kewajiban sesuai dengan fithrah yang telah diberikan pada diri manusia dan sesuai dengan beban yang dipikul individu.
Pada tingkat negara dan keluarga menjadi kepemimpinan pada kepala keluarga yaitu kaum laki-laki. Inilah yang dimaksudkan sebagai kelebihan laki-laki atas wanita (QS. 4: 34). Tetapi dalam hak dan kewajiban masing-masing memiliki beban yang sama."Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya." (QS. 2: 228)
f.     Hak Keamanan
Dalam Islam, keamanan tercermin dalam jaminan keamanan mata pencaharian dan jaminan keamanan jiwa serta harta benda. Firman Allah: "Allah yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS. Quraisy: 3-4).
Diantara jenis keamanan adalah dilarangnya memasuki rumah tanpa izin (QS. 24: 27). Jika warga negara tidak memiliki tempat tinggal, negara berkewajiban menyediakan baginya. Termasuk keamanan dalam Islam adalah memberi tunjangan kepada fakir miskin, anak yatim dan yang membutuhkannya. Oleh karena itulah, Umar bin Khattab menerapkan tunjangan sosial kepada setiap bayi yang lahir dalam Islam baik miskin ataupun kaya. Dia berkata: "Demi Allah yang tidak ada sembahan selain Dia, setiap orang mempunyai hak dalam harta negara ini, aku beri atau tidak aku beri." (Abu Yusuf dalam Al-Kharaj). Umar jugalah yang membawa seorang Yahudi tua miskin ke petugas Baitul-Maal untuk diberikan shadaqah dan dibebaskan dari jizyah.
Bagi para terpidana atau tertuduh mempunyai jaminan keamanan untuk tidak disiksa atau diperlakukan semena-mena. Peringatan rasulullah saw: "Sesungguhnya Allah menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia." (HR. Al-Khamsah). Islam memandang gugur terhadap keputusan yang diambil dari pengakuan kejahatan yang tidak dilakukan. Sabda nabi saw: "Sesungguhnya Allah menghapus dari ummatku kesalahan dan lupa serta perbuatan yang dilakukan paksaan" (HR. Ibnu Majah).
Diantara jaminan keamanan adalah hak mendpat suaka politik. Ketika ada warga tertindas yang mencari suaka ke negeri yang masuk wilayah Darul Islam. Dan masyarakat muslim wajib memberi suaka dan jaminan keamanan kepada mereka bila mereka meminta. Firman Allah: "Dan jika seorang dari kaum musyrikin minta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ke tempat yang aman baginya." (QS. 9: 6).
g.    Hak Keadilan
Diantara hak setiap orang adalah hak mengikuti aturan syari’ah dan diberi putusan hukum sesuai dengan syari’ah (QS. 4: 79). Dalam hal ini juga hak setiap orang untuk membela diri dari tindakan tidak adil yang dia terima. Firman Allah swt: "Allah tidak menyukai ucapan yang diucapkan terus-terang kecuali oleh orang yang dianiaya." (QS. 4: 148).
Merupakan hak setiap orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang sah yang dapat memberikan perlindungan dan membelanya dari bahaya atau kesewenang-wenangan. Bagi penguasa muslim wajib menegakkan keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang cukup. Sabda nabi saw: "Pemimpin itu sebuah tameng, berperang dibaliknya dan berlindung dengannya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Termasuk hak setiap orang untuk mendapatkan pembelaan dan juga mempunyai kewajiban membela hak orang lain dengan kesadarannya. Rasulullah saw bersabda: "Maukah kamu aku beri tahu saksi yang palng baik? Dialah yang memberi kesaksian sebelum diminta kesaksiannya." (HR. Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Tirmidzi). Tidak dibenarkan mengambil hak orang lain untuk membela dirinya atas nama apapun. Sebab rasulullah menegaskan: "Sesungguhnya pihak yang benar memiliki pembelaan."(HR. Al-Khamsah). Seorang muslim juga berhak menolak aturan yang bertentangan dengan syari’ah, dan secara kolektif diperintahkan untuk mengambil sikap sebagai solidaritas terhadap sesama muslim yang mempertahankan hak.


h.     Hak Saling Membela dan Mendukung
Kesempurnaan iman diantaranya ditunjukkan dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya sebaik mungkin, dan saling tolong-menolong dalam membela hak dan mencegah kedzaliman. Bahkan rasul melarang sikap mendiamkan sesama muslim, memutus hubungan relasi dan saling berpaling muka. Sabda nabi saw: "Hak muslim terhadap muslim ada lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar ke kubur, memenuhi undangan dan mendoakan bila bersin." (HR. Bukhari).
i.      Hak Keadilan dan Persamaan
Allah mengutus rasulullah untuk melakukan perubahan sosial dengan mendeklarasikan persamaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia (lihat QS. Al-Hadid: 25, Al-A’raf: 157 dan An-Nisa: 5). Manusia seluruhnya sama di mata hukum. Sabda nabi saw:"Seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada masa rasulullah banyak kisah tentang kesamaan dan keadilan hukum ini. Misalnya kasus putri bangsawan dari suku Makhzum yang mencuri lalu dimintai keringanan hukum oleh Usamah bin Zaid, sampai kemudian rasul menegur dengan: "... Apabila orang yang berkedudukan di antara kalian melakukan pencurian, dia dibiarkan. Akan tetapi bila orang lemah yang melakukan pencurian, mereka memberlakukan hukum kriminal..." Juga kisah raja Jabalah Al-Ghassani masuk Islam dan melakukan penganiayaan saat haji, Umar tetap memberlakukan hukum meskipun ia seorang raja. Atau kisah Ali yang mengadukan seorang Yahudi mengenai tameng perangnya, dimana Yahudi akhirnya memenangkan perkara.
Umar pernah berpesan kepada Abu Musa Al-Asy’ari ketika mengangkatnya sebagai Qadli: "Perbaikilah manusia di hadapanmu, dalam majlismu, dan dalam pengadilanmu. Sehingga seseorang yang berkedudukan tidak mengharap kedzalimanmu dan seorang yang lemah tidak putus asa atas keadilanmu."[28]

           


REFERENSI
Achmadi, 2010. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA Kelas X Semester Ganjil, Klaten: CV AVIVA.
Affandi, Idrus, dkk.2007.Hak Asasi Manusia.Jakarta:Universitas Terbuka
Al Marsudi . Subandi, 2001. PANCASILA DAN UUD 45 DALAM PARADIGMA REFORMASI, Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Al-Qur’an
Bakry. Noor Ms, 2011. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR
 Basrowi, dkk.2006.Demokrasi dan HAM.kediri:Jenggala Pustaka Utama
MGMP PKN SMP KOTA SEMARANG (ed) , 2007 Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP Kelas VII Semester Genap. Semarang: Pustaka Indah.
Muladi (ed), 2009. HAK ASASI MANUSIA Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung: PT Refika Aditama
Tim Pendidikan Kewarganegaraan MPK-UNESA. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Surabaya: UNESA University Press
Ubaedillah, A.  dan Abdul Rozak, 2012. PANCASILA, DEMOKRASI, HAM, DAN MASYARAKAT MADANI. Jakarta: KENCANA PRENADA GROUP
 Ubaedillah, A.  dkk., 2000. Pendidikan Kewarganegaraan DEMOKRASI, HAM DAN MASYARAKAT MADANI. Jakarta: IAIN Jakarta Press
Ubaedillah, A. dkk., 2007. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE.



[1] A. Ubaedillah dkk., Pendidikan Kewarganegaraan DEMOKRASI, HAM DAN MASYARAKAT MADANI, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), hlm. 207
[2] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, PANCASILA, DEMOKRASI, HAM, DAN MASYARAKAT MADANI, (Jakarta: KENCANA PRENADA GROUP, 2012), hlm. 148.
[3] Affandi, Idrus, dkk. Hak Asasi Manusia. (Jakarta:Universitas Terbuka, 2007), hlm. 25.
[4] Basrowi, dkk.Demokrasi dan HAM (kediri:Jenggala Pustaka Utama, 2006), hlm 128.
[5] Achmadi, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA Kelas X Semester Ganjil, (Klaten: CV AVIVA, 2010), hlm. 51.
[6] Subandi Al Marsudi, PANCASILA DAN UUD 45 DALAM PARADIGMA REFORMASI, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2001), hlm. 96-97.
[7] Tim Pendidikan Kewarganegaraan MPK-UNESA. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. (Surabaya:UNESA University Press, 2010), hlm. 25.

[8] A. Ubaedillah  dkk., Pendidikan Kewarganegaraan DEMOKRASI, HAM DAN MASYARAKAT MADANI, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), hlm. 215.
[9] Noor Ms Bakry, PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2011), hlm. 229-230.
[10] MGMP PKN SMP KOTA SEMARANG (ed) , Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP Kelas VII Semester Genap, (Semarang: Pustaka Indah, 2007), hlm. 2.
[11] A. Ubaedillah dkk., Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE, 2007), hlm. 253.
[12] Noor Ms Bakry, PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2011), hlm. 230.
[13] A. Ubaedillah dkk., Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: ICCE, 2007), hlm. 254.
[14] MGMP PKN SMP KOTA SEMARANG (ed) , Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMP Kelas VII Semester Genap, (Semarang: Pustaka Indah, 2007), hlm. 3.
[15] A. Ubaedillah dkk., Pendidikan Kewarganegaraan DEMOKRASI, HAM DAN MASYARAKAT MADANI, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), hlm. 210.
[16] Achmadi, Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA Kelas X Semester Ganjil, (Klaten: CV AVIVA, 2010), hlm. 52.
[17] A. Ubaedillah  dkk., Pendidikan Kewarganegaraan DEMOKRASI, HAM DAN MASYARAKAT MADANI, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), hlm. 216.
[18] Subandi Al Marsudi, PANCASILA DAN UUD 45 DALAM PARADIGMA REFORMASI, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2001), hlm. 104-105.
Basrowi, dkk.Demokrasi dan HAM (kediri:Jenggala Pustaka Utama, 2006), hlm 128.
[20] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, PANCASILA, DEMOKRASI, HAM, DAN MASYARAKAT MADANI, (Jakarta: KENCANA PRENADA GROUP, 2012), hlm. 154.
[21] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, PANCASILA, DEMOKRASI, HAM, DAN MASYARAKAT MADANI, (Jakarta: KENCANA PRENADA GROUP, 2012), hlm. 155-161.
[22] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, PANCASILA, DEMOKRASI, HAM, DAN MASYARAKAT MADANI, (Jakarta: KENCANA PRENADA GROUP, 2012), hlm. 165-166.
[24] A. Ubaedillah dkk., Pendidikan Kewarganegaraan DEMOKRASI, HAM DAN MASYARAKAT MADANI, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), hlm. 210.
[25] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, PANCASILA, DEMOKRASI, HAM, DAN MASYARAKAT MADANI, (Jakarta: KENCANA PRENADA GROUP, 2012), hlm. 166-167.

[26] Muladi (ed), HAK ASASI MANUSIA Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), hlm. 274.
[27] A. Ubaedillah dkk., Pendidikan Kewarganegaraan DEMOKRASI, HAM DAN MASYARAKAT MADANI, (Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000), hlm. 210-212.